Sabtu, 25 November 2017

HIRARKI PERPU K3 MARITIM


I.          Peraturan yang Mendukung K3 Maritim

1.      SOLAS (Safety Of Life At Sea)
Solas adalah Perjanjian/konvensi/ peraturan  yang mengatur keselamatan maritime paling utama. untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup dilaut. Pertama diterbitkan pada tahun 1914 sebagai akibat tenggelamnya kapal RMS Titanic dan juga dirasa pada saat itu mulai dirasakan bertambah banyak kecelakaan kapal yang menelan banyak korban jiwa dimana-mana. 
Solas berisi ketentuan tentang jumlah sekoci/rakit penolong, perangkat keselamatan lain serta peralatan yang dibutuhkan dalam prosedur penyelamatan, termasuk ketentuan untuk melaporkan posisi kapal melalui radio komunikasi
Usaha penyempurnaan peraturan tersebut dengan cara mengeluarkan peraturan tambahan (amandement) hasil konvensi IMO, dilakukan berturut-turut tahun 1966, 1967, 1971 dan 1973. Namun usaha untuk memberlakukan peraturan-peraturan tersebut secara Internasional kurang berjalan sesuai yang diharapkan, karena hambatan prosedural yaitu diperlukannya persetujuan 2/3 dari jumlah Negara anggota untuk meratifikasi peratruran dimaksud, sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
Karena itu pada tahun 1974 dibuat konvensi baru SOLAS 1974 dengan prosedur baru, bahwa setiap amandemen diberlakukan sesuai target waktu yang sudah ditentukan, kecuali ada penolakan 1/3 dari jumlah Negara anggota atau 50 % dari pemilik tonnage yang ada di dunia.
Kecelakaan tanker terjadi secara beruntun pada tahun 1976 dan 1977, karena itu atas prakarsa Presiden Amerika Serikat JIMMY CARTER, telah diadakan konfrensi khusus yang menganjurkan aturan tambahan terhadap SOLAS 1974 supaya perlindungan terhadap Keselamatan Maritim kebih efektif.
Isi dari SOLAS :
1.            Pendahuluan
2.            Prosedur amandemen
3.            Ketentuan teknis
4.            Chapter I - Ketentuan umum
5.            Chapter II-1 - Konstruksi - Pembagian dan stabilitas, permesinan dan instalasi listrik
6.            Chapter II-2 - Pelindungan kebakaran, deteksi kebakaran dan pemadaman kebakaran
7.            Chapter III - Perangkat pertolongan dan pengaturannya
8.            Chapter IV - Komunikasi Radio
9.            Chapter V - Keselamatan navigasi
10.        Chapter VI - Muatan barang
11.        Chapter VII - Muatan barang berbahaya
12.        Chapter VIII - Kapal Nuklir
13.        Chapter IX - Managemen keselamatan operasi kapal
14.        Chapter X - Ketentuan untuk kapal cepat
15.        Chapter XI-1 - Upaya khusus untuk meningkatkan keselamatan pelayaran
16.        Chapter XI-2 - Upaya khusus untuk meningkatkan keamanan pelayaran
17.        Chapter XII - Aturan tambahan untuk kapal curah

  1. MARPOL (Marine Pollution)
MARPOL adalah Peraturan internasional yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran di laut. Adanya peraturan MARPOL dikarenakan peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.

            Isi dari peraturan MARPOL
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
a.       International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
b.      Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
·         Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :
·                     Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
·                     Waktu, tempat dan jenis kejadian
·                     Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
·                     Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
·         Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
§  Annex I  : Pencemaran oleh minyak - Mulai berlaku 2 Oktober 1983
§  Annex II :  Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious  Substances) dalam bentuk Curah - Mulai berlaku 6 April 1987
§  Annex III :  Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk  Terbungkus - Mulai berlaku 1 Juli 1991
§  Annex IV :  Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) - diberlakukan 27 September 2003
§  Annex V  : Pencemaran Sampah - Mulai berlaku 31 Desember 1988
§  Annex VI :  Pencemaran udara  belum diberlakukan
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.


  1. UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea)
UNCLOS, merupakan perjanjian hukum laut yang dihasilkan dari konferensi PBB yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. UNCLOS sendiri sebelumnya sudah dilaksanakan sejak tahun 1958 yang kemudian dirasa perlu adanya penyempurnaan hingga akhirnya dilaksanakanlah  UNCLOS 1982 yang sudah diakui oleh lebih dari 150 negara termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut
Setahun sebelum diadakan UNCLOS untuk pertama kalinya, sebenarnya Indonesia sudah mulai memperjuangkan hukum  laut demi memperkokoh Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi dari Deklarasi Djuanda tersebut antara lain yaitu ditegaskan bahwa demi keutuhan territorial dan melindungi kekayaan Negara Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Selain itu, dalam Deklarasi ini juga disebutkan bahwa penentuan batas territorial yang lebarnya 12 mil, diukur dengan garis- garis yang menghubungkan titik- titik ujung terluar pada pulau- pulau Negara Indonesia.
           
            UNCLOS beridi tentang :
·         Hukum, definisi dan obligasi negara mengenai zona maritim
·         Menetapkan peraturan untuk perairan dan sumber daya perikanan didalam yuridiksi nasional
·         Menetapkan peraturan untuk penelitian mengenai kelautan.
·         Membuat perjanjian internasional yang menyeluruh tentang perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut dari polusi dan kerusakan
·         Mempertimbangkan situasi negara berkembang secara geografis
·         Menyediakan pengembangan dan sharing teknologi kelautan UNCLOS juga membahas peraturan mengenai zona maritim tanpa jurisdiksi nasional yaitu perairan internal, laut teritorial hingga 12 mil, zona kontingen hingga 24 mil, zona ekonomi eksklusif hingga 200 mil dan kontinental shelf. Peraturan dengan jurisdiksi nasional meliputi perairan laut lepas dengan permukaan perairan hingga 100 mil dan area 200 mil atau 350 mil. Adapun ketentuan dalam UNCLOS adalah sebagai berikut :
·   Hak sutau negara untuk memanfaatkan sumber alam mereka, menurut kebijakan lingkungan dan tugas mereka untuk melindungi serta memelihara lingkungan laut.
·   Kewajiban untuk konsisten dengan UNCLOS, adanya kegiatan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan polusi lingkungan laut dari sumber manapun. Sumber polusi : dari daratan, aktivitas dilaut, pembuangan limbah, atmosfir, dan penggunaan teknologi untuk rekayasa genetik.
·   Kewajiban untuk melindungi dan memelihara biota yang punah atau sudah langka, dan dipelihara seperti habitat asalnya, menghindari  ancaman dan sebab lainnya bagi kehidupan laut.
·   Kewajiban untuk mencegah penyebaran polusi di luar area dan atau di dalam area yurisdiksi mereka
·   Bertugas untuk tidak memindahkan kerusakan, resiko atau mengubah bentuk suatu jenis polusi ke area lainnya. Bentuk kerjasama nasional dan global meliputi : pengembangan aturan, standard dan rekomendasi praktis; penelitian saintifik; pemberitahuan dari kerusakan nyata atau yang akan  terjadi; rencana dalam penanggulangan polusi.

Peraturan internasional dan perundang-undangan nasional yang di atur dalam UNCLOS, meliputi :
·   Adopsi tentang aturan regional dan global, standard, dan rekomendasi praktek  dan  prosedur untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan polusi yang berhubungan dengan lingkungan laut
·   Adopsi hukum nasional dan peraturan, yang mencakup pendugaan suatu nilai atau sebab.
·   Aturan internasional, standard dan rekomendasi mengenai perlindungan ekosistem, habitat dan species terdapat pada General Assembly of the United Nations, Convention on Biological Diversity (CBD),  RAMSAR Convention on Wetlands, CITES dan regional.

¨     Sistematiak isi dari UNCLOS
1.      PEMBUKAAN
2.      BAB I PENDAHULUAN 
3.      BAB II  LAUT TERITORIAL DAN ZONA TAMBAHAN       
4.      BAB III SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN INTERNASIONAL        
5.      BAB  IV  NEGARA-NEGARA KEPULAUAN (ARCHIPELAGIC STATES)  
6.      BAB V ZONA EKONOMI EKSKLUSIF           
7.      BAB VI LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF)      
8.      BAB VII LAUT LEPAS (HIGH SEAS)    
9.      BAB VIII REZIM PULAU (REGIME OF ISLANDS)     
10.  BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP (ENCLOSED OR SEMI-ENCLOSED)
11.  BAB X HAK NEGARA TAK BERPANTAI UNTUK AKSES KE DAN DARI LAUT SERTA KEBEBASAN TRANSIT
12.  BAB XI  KAWASAN (THE AREA)         
13.  BAB XII PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT
14.  BAB XIII RISET ILMIAH KELAUTAN
15.  BAB XIV PENGEMBANGAN DAN ALIH TEKNOLOGI KELAUTAN       
16.  BAB XV PENYELESAIAN SENGKETA (SETTLEMENT OF DISPUTES)    
17.  BAB XVI KETENTUAN UMUM (GENERAL PROVISIONS)
18.  BAB XVII KETENTUAN PENUTUP     

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar